30.5.21

inconvenient truth (recap)

Dari segala stages of grieve, mungkin memang yang paling lama dicapai sama semua manusia itu bagian acceptance. Di cerita saya yang terakhir, saya bilang kalau saya sedang berproses dengan bagian itu, nyatanya sampai detik ini saya masih ragu apakah saya sudah menerima/ikhlas dengan apa yang terjadi.

Satu minggu ini saya uring-uringan, rasanya hampa dan aneh banget. Sedih, tapi  nggak sedih-sedih amet. Marah, tapi nggak gimana-gimana banget. Kecewa juga yaaa datar aja. Untuk ngerangkum semuanya, saya mau tulis dengan runut aja kali ya. Harapannya saya bisa menjalani ulang kisah singkat ini dalam sekali jalan lewat tulisan, lalu memproses semuanya dengan lebih bijaksana.

Cerita saya sebenarnya dimulai sekitar tahun 2017-an, saya lupa tepatnya bulan apa. Waktu itu saya sudah  menikah dua tahun, lalu saya dan suami mulai mencari-cari dokter kandungan karena selama ini kami nggak pernah pakai KB atau apapun dan belum punya keturunan.

Saya pernah cerita sebelumnya tentang si dokter laknat yang pertama. Kebetulan dokter pertama yang kami temui kayak dokter kaga niat praktek, bisa dibaca sendiri di postingan sebelumnya tentang gimana itu dokter menjelaskan apa itu kista dengan cara Googling dan tendeng aling-aling langsung nyuruh operasi. Jelasinnya nggak sabar, nggak profesional, nggak punya alat peraga, nyari keterangan kista literally di Google, aduh nggak banget lah! Merasa dokter pertama nggak beres, saya dan suami langsung angkat kaki dan nggak pernah balik lagi.

Petualangan dilanjutkan ke dokter kedua. Dokter ini secara perkerjaan sih baik, beliau menyelamatkan saya dari operasi kista yang nggak perlu dikerjain (karena ternyata kista yang sama dokter pertama disuruh operasi hanya pengumpalan darah pas saya mau haid), tapi saya punya masalah dengan cara komunikasinya. Dokter ini kalau bicara bentak-bentak, ngomongnya cepet, terus kalau saya tanya ulang karena belum paham penjelasan sebelumnya, jawabnya ketus dan terlihat annoyed gitu ditanya ulang... sebagai orang yang cenderung banyak tanya kalau urusan kesehatan, saya merasa tertekan dan pada akhirnya saya ngambek nggak mau ketemu sama dokter ini lagi. Sebut saja saya baperan, terserah... tapi kalau udah urusan sama masalah sensitif fertilitas (yang treatment-nya menuntut saya buka celana dan ngangkang di depan orang asing), saya berhak merasa nyaman dan aman dengan siapa pun yang memeriksa.

Setelah urusan kista-kistaan selesai (dan masih trauma dibentak-bentak dokter kedua), saya memutuskan mau menyerahkan nasib pada takdir saja. Biar Tuhan yang berkerja, kalau sudah waktu dan rezekinya, pasti dikasih, kalau tidak dikasih ya berarti belum rezekinya. Nyatanya setahun lebih  rahim saya tetap 'kosong', saya sama suami sebenarnya masih santai, tapi orang tua kami mulai bawel. Alhasil sebagai anak yang berbakti, kami nurut deh... "pijit di sini", "urut di sana", "cobain minum ini", "solat dan minta sama Tuhan", daaaaannn masih banyak lagi lagu serupa yang terlontar dari mulut mereka—dan kami ikutin. Akhirnya di akhir tahun 2018, telinga saya dan suami panas sendiri. Cape dengerin saran-saran tidak solutif, muak ditanya "sudah isi?" tiap lebaran, segan menghindar dari segala acara keluarga. Tahun 2018 kami liburan dan kami janji pada satu sama lain bahwa selesai liburan kami akan mencari dokter baru dan coba treatment sungguhan.

Alhamdulillah kami ketemu dokter yang cocok. Dokternya sopan, baik, sabar ngejelasin, dan sangat komunikatif. Saya merekomendasikan dokter ini pada siapa pun yang butuh dokter kandungan di area Jakarta sih. Awal periksa sama dokter ini, saya dikasih obat antibiotic, beliau sedikit curiga dengan adanya polip dalam dinding rahim saya, tapi masih mencoba melakukan treatment luar saja tanpa perlu operasi. Sayangnya dua bulan kemudian treatment itu tidak memberi hasil yang diharapkan dan ujung-ujungnya saya tetap operasi.

Gimana rasanya operasi? Takut sih enggak, tapi malu. Saya dibawa ke ruang OK masih dalam keadaan sadar. Disuruh berbaring di atas meja operasi, kaki disuruh angkat tinggi, ngangkang, bagian bawah itu terekspos sama semua dokter dan ners yang ada di sana. Sebenarnya tiap saya kontrol dan periksa, saya juga buka celana, ngangkang, dan pasrah aja sih pas alat USG dalam dimasukin lewat vagina saya. Tapi kalau di ruang dokter, biasanya saya dikasih kain buat nutupin bagian itu, jadi rasanya nggak seterekspos pas operasi. Pas operasi tuh... hahaha... aduh gimana ya jelasinnya biar pada kebayang? Kan tiduran tuh, terus di bagian bawah meja operasi ada dua cantelan yang bentuknya ngepas buat naro kaki, kaki taro di sana, selangkangan terbuka lebar, dan muka dokter mejeng persis di depan 'itu'. Selain malu, saya kedinginan juga sih. Ruang OK kan AC-nya dasyat ya... yaampun, untung dibius. Kalau nggak dibius kayaknya makin traumatis.

Tuntas operasi kami lanjut treatment. Segala obat hormon, suntikan yang sekali tusuk berharga jutaan, obat yang bikin GERD saya kambuh sampai lemas selemas-lemasnya karena muntah terus... semua kami jalanin. Secara fisik, memang sakit... tapi secara mental, itu semua jauh lebih menyiksa. Kebayang nggak sih? Ngeliat suami sendiri nahan emosi tiap kita kesakitan, ngeliat suami kecapean nganterin ke dokter dan nunggu berjam-jam, ngeliat suami tetep senyum (pahit) saat istrinya disuruh buka celana dan ngangkang untuk kesekian kalinya di atas kursi laknat ala dokter kandungan... apa yang saya lewatin berat, tapi ujian mental buat suami saya juga tidak kalah berat.

Dari runutan treatment itu, akhirnya dokter mengusulkan inseminasi buatan (IUI). Teorinya, dari sisi saya dipancing supaya sel telur yang dihasilkan lebih dari satu, dari suami saya dikasih vitamin yang menghasilkan sperma berkualitas, kedua sel itu dipertemukan lewat bantuan dokter di ruang tindakan. Bedanya dengan IVF (bayi tabung) apa? Dalam IVF, sel telur dan sperma ditemukan dalam tabung, diobservasi sampai jadi embrio, lalu embrio itu dimasukkan kembali ke rahim. Dalam IUI, sperma disuntikkan ke rahim dan sisanya tinggal berdoa kedua sel itu bertemu dan menjadi embrio. Jadi secara biaya, IUI seperlima biaya IVF, karena memang tidak serumit IVF.

Tapi tetep... posisi ya seperti ini. Saya berbaring di meja itu, kaki digantung di cantelan bawah, selangkangan terbuka lebar, dokter duduk di depan saya dengan muka beliau persis di depan vagina buat nyuntikin sperma yang sudah dipilih di lab beberapa jam sebelumnya.

Saya berbaring di meja itu, kaki digantung di cantelan bawah, selangkangan terbuka lebar, dokter duduk di depan saya dengan muka beliau persis di depan vagina buat nyuntikin sperma yang sudah dipilih di lab beberapa jam sebelumnya

Malu? Malu banget! Ngangkang diliatin banyak orang, 'itu' saya dipegang-pegang para ners yang membantu, apalagi kali ini dalam keadaan sadar! Tapi ya jalanin aja, yekan... namanya juga usaha.

Persiapan IUI pertama yang saya lakukan benar-benar mendebarkan (mungkin faktor karena saya belum tahu apa yang harus saya jalani kali yaa). Setiap minggu saya ke rumah sakit untuk pantau ukuran sel telur, di waktu itu sel telur yang terlihat matang ada 2 buah, obat-obatan yang saya konsumsi luar biasa banyaknya, dan setelah inseminasi selesai, dimulailah 2 minggu penantian kepastian. Jujur, ini yang nyiksa saya. Melihat dan mendengar orang tua saya udah berkhayal ini-itu kalau baby-nya datang merupakan siksaan batin terberat. Saat saya mencoba testpack dan melihat garis satu, saya pun bingung bagaimana menyampaikan ke mereka bahwa mimpi mereka itu harus dibuang jauh-jauh.

Gagal dengan IUI pertama, dokter suruh saya istirahat satu bulan. Nyatanya saya dan suami istirahat sampai 3 bulan lamanya saking cape bolak-balik ke RS. Ehhhh... covid muncul! Makin deh kami nggak berani ke RS.

Lalu dalam masa covid dan karantina, tiba-tiba keajaiban muncul. Saya uring-uringan karena nggak haid dan pas saya iseng pakai testpack, ternyata positif. Nah lho! Apakah benar apa yang dibilang orang-orang? Bahwa ketika kita mencoba dan pasrah, mukzizat datang?

Dengan berbekal hasil testpack positif dan masih dalam mode setengah nggak percaya, kami gear up dan memberanikan diri menemui dokter lagi. Pas diperiksa, ternyata benar... saya positif. Ada kantung telur dalam rahim saya dan itungannya sudah lima minggu. Apakah saya dan suami langsung jejingkrakan? Tidak... kami masih sama-sama merasa ada yang mengganjal dari berita baik itu.  Gatau kenapa, saya sama dia tuh kompak aja gitu nggak langsung hip-hip hore. Nah, karena dokter tahu kondisi rahim saya gimana, beliau meminta kami datang tiap minggu untuk dipantau, dan tiap minggu beliau menyuntikkan obat penguat kandungan. Harga suntikannya? Sejuta something... jadi tiap minggu abis minimal dua jutaanlah kalau dihitung dengan ongkos dan biaya konsultasi. Tapi apalah artinya uang segitu kalau apa yang selama ini ditunggu muncul, kan? Kuras tabungan juga rela, sebab prinsipnya uang bisa dicari, tapi kesempatan seperti ini mungkin hanya terjadi satu kali.

Bagian yang cukup bikin kami mikir setelah periksa ke dokter adalah mengumumkan ke orang tua. Apakah sebaiknya dikasih tahu saja, atau tunggu nanti? Kami putuskan untuk tunggu pemeriksaan minggu depan, baru kalau memang masih sama diagnosanya kasih tahu orang tua. Minggu depannya kami periksa (dan suntik), hasilnya masih sama, ukuran kantung telurnya membesar... sepertinya beneran hamil nih! Akhirnya kami beri tahu orang tua. Senyum di wajah ayah saya, tangis haru ibu saya... nggak akan pernah bisa saya lupain. Mereka sama-sama berusaha dengan kami, sama-sama berdoa, sama-sama paham susahnya kayak apa (karena dulu mereka juga dapetin adik saya melewati derita yang sama dengan apa yang saya lewatin dengan suami sekarang)... dan akhirnya semua penantian mereka terjawab.

Sayangnya saya harus membuat mereka kecewa. Sebab seperti yang saya tulis di postingan sebelumnya, ternyata saya mengalami blighted ovum. Apa itu? Sebuah keadaan di mana sel telur dan sperma ketemu, kantung telurnya ada, tapi tidak ada embrio. Jadi kantung telur yang tumbuh di rahim saya itu kosong. Kok bisa? Ya gatau... tapi kan testpack positif? Betul, karena ada pembentukan kantung telur, tubuh saya menghasilkan hormon yang bikin hasil tespack positif. Terus gimana? Kata dokter pada akhirnya tubuh saya akan merespon salah sinyal ini dan saya akan mengalami keguguran dengan sendirinya.

Satu hari saya percaya ada mukzizat, hari berikutnya saya ditampar sama kenyataan bahwa semesta ini suka bercanda dengan selera humornya yang aneh.

Beberapa hal yang saya ingat ketika dokter menyampaikan berita buruk itu adalah ucapan maaf bertubi-tubi yang beliau sampaikan ke saya. Lalu perjalanan pulang dari RS yang bikin saya blank, disertai panggilan telepon ke ibu saya yang spontan nangis karena nggak jadi punya cucu.

Lantas apakah selesai sampai di sana? Tentu tidak! Secara vonis sudah jelas saya keguguran, tapi badan saya belum sadar kalau saya keguguran. Jadi saya masih pusing, masih mual, dan masih dibuat uring-uringan. Dokter memberi saya obat untuk meluruhkan dinding rahim (yang ternyata obat lambung hahaha), memperingatkan saya supaya nggak takut kalau tiba-tiba saya menstruasi dan keluar gerenjel besar, tapi dua minggu berlalu dan apa yang seharusnya luruh belum luruh juga. Usut punya usut, ada hubungannya dengan sutikan seharga sejuta++ selama saya dikira hamil itu. Ngefek ternyata obatnya, Bun! Dinding rahim saya kuat banget jadinya. Nah, mumpung harus ngeluruhin, jadinya segala mitos saya cobain. Makan nanas, kerokan, olahraga, apa lagi ya? Pokoknya banyak lah yang katanya nggak boleh dikerjain sama orang hamil, saya kerjain. Masih ga ngefek! Tetap tidak luruh! Akhirnya di minggu kehamilan ke-9, dokter memutuskan untuk kuretase. Kenapa? Karena kata beliau bahaya seandainya jaringan mati itu tetap ada dalam tubuh saya.

Kuretase artinya operasi. Di masa covid, kalau masuk ruang OK harus ada bukti bebas covid, di masa itu tes swab masih 2,5 juta. Tapi demi kesehatan, ya saya kerjain. EH POSITIF DONG HASILNYA! POSITIF COVID.

Sempurna banget yegaksih?!! Udah dikasih harapan hamil, taunya hamil bodong, mau ngeluruhin nggak keluar-keluar, pas mau kuret malah cositif covid. Ini bercandaan semesta yang nggak ada lucu-lucunya. Anehnya, pas saya baca hasil tes swab, saya nggak takut. Mungkin karena pada saat itu saya memang lagi mikir "kalo gw mati aja kayaknya lebih nggak nyusahin keluarga gw deh", tapi yang jelas saya inget banget waktu itu saya lebih panik mikir kalau saya harus keluar 2,5 juta lagi dalam kurun waktu beberapa hari untuk dapetin hasil covid negatif demi bisa dikuret. Waktu berjalan, itu di dalem badan saya ada racun, tapi mau dikeluarin ga bisa karena saya covid. OMG, mati aja apa gue?!

Selama beberapa hari itu saya doping vitamin c, vitamin d, dan antibiotic yang diresepin sama dokter saya (ampuh btw!), lalu seminggu kemudian saya swab lagi dan kali ini hasilnya negatif. Artinya saya bisa operasi. Eh tapi jangan senang dulu, Ferguso! Saya dijadwalin operasi tuh hari Selasa kalau nggak salah ingat, nah hari Sabtu sebelumnya (abis tes swab kedua) pas saya lagi liburan di rumah orang tua saya, perut saya kram. Kram ini beda dengan segala kram yang pernah saya alami seumur hidup saya. Malem itu saya keringet dingin, vagina saya sakit banget, rahim saya kontraksi, pinggang udah kaya mau copot, dan saya cuma bisa ngeringkuk di kasur sambil nangis kesakitan sementara suami saya bingung apa yang bisa dia kerjain buat bantuin saya. Malam itu, akhirnya si kantung janin yang ditunggu-tunggu "lahir". Malam itu saya resmi keguguran.

Keesokan harinya saya lapor ke dokter kalau apa yang seharusnya terjadi beberapa minggu lalu udah kejadian, tapi saya tetep disuruh periksa. Ujung-ujungnya saya tetap operasi kuretase.

Gimana rasanya dikuret? Lagi-lagi sensasi pertama adalah malu. Sebab ya itu terulang lagi... terlentang di meja operasi dalam keadaan sadar sebelum dibius, ngangkang diliatin banyak orang. Selesainya gimana? Ya nyeri-nyeri sedap gitu deh, plus muntah-muntah karena efek obat biuus. Mantap lah pokoknya.

Tuntas dikuret, dokter nyuruh saya istirahat sebulan. Kali ini saya nurut, sebulan ya sebulan. Setelah itu rahim saya dipantau. Karena kemarin sempet hamil, ada penebalan otot rahim dan dokter saya nggak rekomen penebalan otot untuk kehamilan, jadi saya disuntik tapros yang harganya gausah ditanya... lebih mahal dari suntikan penguat rahim saya. Suntik tapros ini dilakukan 3 kali (mantap! Bokek gueee!) terus setelah tapros selesai, diharapkan kehamilan dapat terjadi natural. Dokter saya cukup optimis bisa natural karena kemarin saya dan suami sempet berhasil natural.

Tapi lima bulan berlalu tanpa berita baik, dan akhirnya disarankan inseminasi kedua. Artinya, semua kejadian horror yang dulu terulang lagi. Hasilnya juga terulang lagi; negatif.

Mungkin idealnya setelah ini kami melakukan IVF, tapi kami tahu kapan harus berhenti. Bukan hanya biaya yang sudah habis-habisan dan tabungan benar-benar 0, tapi juga karena kewarasan kami sudah terkikis akibat perjalanan menjemukan ini. Kami tidak bahagia lagi, itu sebabnya skala prioritas harus dipilih. Kesehatan jiwa dan raga kami lebih penting sekarang, maka kami memutuskan berhenti. Saya dan suami sudah sepakat untuk melanjutkan hidup kami yang selama ini tertunda karena treatment. Jika sisa hidup kami hanya diisi saya dan dia (dan Bagel--anjing yang suami saya hadiahkan sebagai pelipur lara setelah saya ngemis-ngemis pengen punya anjing selama lima tahun lamanya), maka kami bisa terima itu; kami bisa terima hidup berdua saja, selama kami tetap sehat.

Di postingan sebelumnya saya pernah menyatakan bahwa saya sebenarnya agak sedikit lega waktu itu keguguran. Karena baru setelah itu saya sadar bahwa mungkin saya memang tidak siap. Sejujurnya program berikutnya saya kerjakan juga bukan untuk saya, tapi untuk keluarga saya. Waktu itu saya nangis-nangis di ruang konsultasi psikolog bilang kalau saya depresi karena sudah ngecewain mereka dan nggak sanggup bilang bahwa saya nggak mau lanjutin program kehamilan ini. Psikolog itu nyaranin saya untuk bicara terbuka dengan orang tua, tapi saya yang pengecut dan nggak tega ngecewain mereka memilih untuk tutup mulut dan menjalankan IUI sekali lagi saja. Saya menyerahkan semuanya pada Tuhan. Kalau IUI berhasil, artinya memang itu yang terbaik untuk saya. Kalau tidak berhasil, ya berarti Tuhan punya rencana lain untuk saya. Sekarang program yang dimaksud sudah terlaksana dan daya percaya hasilnya adalah yang terbaik untuk saya. Tuhan tahu saya tidak siap menjadi ibu dan itulah yang Tuhan beri. Tuhan menjawab doa saya, memberikan saya yang terbaik, dan membebaskan saya dari beban mental yang selama ini saya pendam.

Tapi tetap saja saya nangis, dan masih menangis sambil menulis ini. Saya menangis bukan karena kesempatan saya hangus, bukan karena saya sedih liat testpack negatif, bukan akibat saya merasa tidak utuh sebagai wanita karena tidak bisa jadi ibu. Bukan. Bukan karena itu. Saya sedih karena saya tidak bisa membuat orang tua saya bahagia. Saya sedih karena besar kemungkinan orang tua saya tidak akan mendapat cucu pertama mereka dari saya. Sedih karena saya juga bisa melihat beban tidak terungkap di mata kedua orang tua saya... sebab saya juga tahu mereka pasti ditanya terus sama temen-temennya "gimana anaklo? Udah isi? Udah punya cucu belom? Kemaren anak gw gitu juga, lo coba deh urut ke si anu..." saya tahu mereka pun muak dengan pertanyaan (dan solusi) itu; dan sama tidak berdayanya dengan saya untuk menghindar. Itu yang bikin saya nangis.

Sebab seumur hidup saya, mereka selalu memberi yang terbaik. Keduanya jungkir balik buat mastiin saya hidup layak dan bahagia. Saya sadar bahwa apapun yang saya lakukan, saya tidak akan bisa membalas apa yang telah mereka kasih, tapi setidaknya saya berharap bisa memberi mereka sediit kebahagiaan... dan saya tahu kehadiran cucu pertama akan sangat membahagiakan untuk mereka. Itu yang bikin saya sedih. Saya sedih karena sudah mengecewakan mereka untuk satu hal yang benar-benar di luar kuasa saya.

Mungkin ini adalah satu bagian yang tidak banyak dibahas sama orang-orang yang melewati apa yang saya lewati. Rasa malu yang rasanya udah nggak tau mau diapain lagi. Beban mengecewakan keluarga. Lelahnya bolak-balik dan membiarkan badan sendiri dan badan suami melewati treatment bertubi-tubi. Orang lain sih gampang banget bilang "sabar ya", "coba lagi aja, temen gw nyoba dan ketiga kalinya berhasil.", "mungkin lo harus adopt dulu buat mancing. Belajar deh menerima anak adopsi, nanti pasti lo dikasih.", "sepupu gw ada tuh nyoba berulang kali sampai nyerah, eh pas nyerah malah dikasih..." ya orang-orang itu lebih gampang bilang seperti itu tanpa menilik lebih dalam derita yang harus dilewatin pasangan seperti saya dan suami.

Terus baiknya bilang apa dong sama orang-orang seperti saya? Bilang... "saya turut berduka,", "pasti berat banget ngelewatin itu, semoga kamu dan suami tetap kuat.", atau sesimpel "saya pingin meluk dan nguatin kamu." Udah. Sesimpel itu. Ga usah kasih wejangan, nggak usah nyeritain kisah sukses diri sendiri atau orang lain, nggak usah kasih tips urut/obat/treatment/adopsi/apalah yang biasa diucapin ke orang-orang seperti saya.

Biarkan saya berduka.

Saya tidak perlu solusi.

Saya hanya perlu berduka dan memproses ini semua.

Di IG ada beberapa follower yang rajin nanyain gimana kabar saya, cerita-cerita juga tentang kehidupannya, berbagi tentang kisah perjalanannya dengan pasangan yang juga nggak mudah... banyak sebenernya reader yang membuat saya merasa tidak sendirian dalam kutukan infertil ini, dan saya berhutang banyak sekali ucapan terima kasih pada kalian karena sudah mau berbagi dan membuat saya tidak merasa terkucil. Kemarin setelah saya terbitin story testpack gagal di IG banyak juga melakukan persis apa yang seharusnya dilakukan pada orang berduka: mengatakan kalau mereka turut berduka, memberi virtual hug, dan mendoakan saya tetap kuat serta sehat. Saya bersyukur banget ketemu sama orang-orang seperti kalian di dunia virtual ini. Saya senang karena kalian paham dan tidak mengucapkan petuah-petuah klise yang membuat saya makin sedih. Saya senang karena saya masih bisa berbagi sama kalian.

Tapi saya juga berharap kalau saya bisa tutup buku dan mengakhiri chapter tentang infertilitas ini dari hidup saya.

Kalian sudah mengikuti kisah saya dan sepertinya dalam perjalanan ini kita sama-sama belajar banyak istilah baru, mulai memahami bentukan treatment yang selama ini abu-abu, juga sudut pandang lain dari masalah yang masih dianggap tabu untuk dibahas dengan gamblang. Saya berharap pengalaman ini dapat membuahkan hal lain yang bermanfaat. Doakan saya cepat pulih (secara mental) ya... supaya bisa move on dan bisa melanjutkan proyek-proyek hidup yang tertunda selama saya mencoba peruntungan.

Makasih yang sudah baca sampai habis, makasih buat kalian yang masih mendukung dan mendoakan saya... saya bener-bener sayang lho sama kalian... rasanya kayak punya comfort place dan temen untuk berbagi (karena saya saja tidak bisa berbagi tentang ini pada teman-teman terdekat saya secara tatapmuka; takut nangis dan drama kalo cerita hahaha, kalo di sini kan kalian ga usah liat saya sesenggukan pas ngetik ;p). Sekali lagi makasih, karena sudah menyuntikkan rasa nyaman di saat saya lagi kacau.

BTW, selama saya menjalani proses infertility treatmen ini, saya juga mencoba mencari moral support. Agak miris sebenernya ketika menjalani satu hal yang saya tahu banyak yang ngalamin tapi sedikittt banget yang terbuka untuk share tentang pengalamannya. Entah mungkin karena risih, karena malu, karena takut di-judge, atau alasan-alasan lain... yang jelas mencari support group untuk orang-orang yang senasib dengan saya sedikit sulit. Tapi saya menemukan beberapa channel yang membuat saya merasa tidak sebatang kara di perjalanan penuh liku ini, salah satunya Youtube pasangan ini. Mereka bener-bener deh, kuat banget! Dan pantang nyerah, nggak seperti saya yang pada akhirnya memilih untuk mengikhlaskan apapun jalan yang Tuhan rencanakan untuk saya. 




edit:

I've completed my infertility story and compiled them all into "inconvenient truth" titles. Click on these pictures for easier access to read them all.





No comments: